SAUH BAGI JIWA
“Segala perkataan mulutku adalah adil, tidak ada yang berbelat-belit atau serong” (Amsal 8:8)
“Segala perkataan mulutku adalah adil, tidak ada yang berbelat-belit atau serong” (Amsal 8:8)
Kitab Amsal banyak memberikan nasihat tentang lidah dan mulut. Walaupun kedua organ tubuh itu kecil, keduanya bisa sangat berbahaya bila kita tidak menggunakannya dengan bijaksana. Setiap hari kita menggunakan mulut kita untuk berkata-kata, berkomunikasi dengan orang lain. Setelah mengucapkan sesuatu, kita tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperbaiki perkataan yang keliru yang diucapkan kepada orang lain. Meskipun kita meminta maaf, kata-kata itu sudah terlanjur diucapkan. Sebaliknya, kita justru kadangkala memilih diam dan tidak mengatakan hal-hal yang seharusnya kita sampaikan kepada orang lain.
Ayat di atas mengatakan, “Segala perkataan mulutku adalah adil, tidak ada yang berbelit-belit atau serong.” Perkataan yang adil sejatinya tidak menyinggung perasaan orang lain meskipun kerap berisi teguran dan terdengar pedas. Jika teguran itu disampaikan dengan baik dan membangun, biasanya orang akan bisa mengerti maksud hati kita. Namun, perkataan yang serong dan berbelit-belit adalah perkataan yang tidak benar dan pada akhirnya bisa menyakiti orang lain.
Seorang guru ingin menasihati muridnya yang sering berkata kasar dan kotor kepada teman-temannya. Guru itu menyuruh muridnya menancapkan paku pada sebilah papan setiap kali dia berkata kasar atau memaki temannya. Setelah satu bulan guru tersebut bertanya kepada muridnya berapa paku yang sudah dia tancapkan. Ternyata ada lebih dari dua puluh buah paku. Lalu, guru tersebut mengatakan kepada murid itu, jika ia dapat mengendalikan perkataannya, ia bisa mencabut satu per satu paku yang sudah ditancapkan. Selang beberapa bulan, dia dapat melepaskan semua paku yang sudah ditancapkan. Murid tersebut dengan gembira menunjukkan papan yang sudah tidak berpaku tersebut dan berkata, “Guru, aku sudah menjadi anak baik, aku tidak berkata-kata kasar lagi.” Guru itu memujinya, lalu sambil menunjuk pada papan yang memiliki bekas-bekas paku, ia berkata: “Adalah hal yang sangat baik kamu dapat mengendalikan dirimu. Namun, lihatlah, meskipun tidak ada lagi paku, ada bekas lubang paku di dalamnya. Karena itu, kamu harus meminta maaf kepada semua teman karena perkataan itu berbekas dan menyakiti hati mereka.”
Pepatah mengatakan, “Mulutmu, harimaumu.” Segala perkataan yang terlanjur keluar, apabila tanpa dipikirkan dahulu, akan dapat merugikan diri sendiri dan menyakiti orang lain. Firman Tuhan menegaskan, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun dimana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia.” (Ef 4:29)
Ishak memberi contoh yang indah kepada kita tentang bagaimana ia menghindari pertengkaran dengan para tetangganya yang telah merampas atau menutup sumur yang digalinya. Sekalipun Alkitab tidak menuliskan apa yang dikatakan Ishak kepada mereka, kita bisa mengetahui bahwa ia tidak berbicara kasar atau bertengkar dengan mereka. Dia tidak terpancing emosi dan mau mengalah sehingga Tuhan membuka jalan baginya.
Bagaimana dengan kita? Perkataan yang keluar dari mulut kita seringkali tergantung pada situasi, perasaan dan emosi yang kita rasakan saat itu. Marilah berpikir jernih dan tidak mudah terpancing emosi, tidak serong atau berbelit-belit. Lebih baik diam jika kita tidak mampu berbicara yang baik. Lidah memang tidak bertulang, tetapi lidah dapat menjadi pedang paling tajam di dunia. Kita harus berhati-hati dengan mulut kita dan menjadi bijak. Haleluya, Amin.
“Dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk, hal ini saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.” (Yak 3:10)