SAUH BAGI JIWA
“Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir…tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang…yang mendirikan rumahnya di atas pasir.” (Matius 7:25-26)
“Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir…tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang…yang mendirikan rumahnya di atas pasir.” (Matius 7:25-26)
Di zaman sekarang, untuk membangun dasar kita menggunakan teknologi pemboran tanah dan merancang penguatannya. Di zaman Tuhan Yesus, Ia memakai batu dan tanah sebagai perbandingan, agar kita memahami pentingnya dasar itu.
Pasir bersifat gembur dan mudah digali, tetapi tidak dapat diandalkan sebagai dasar. Iman seperti ini adalah iman yang kosong di dalam; rupa luarnya tampak sebagai orang Kristen yang sangat agamis, tetapi hatinya tidak mempunyai dasar iman yang benar.
Dasar pasir melambangkan orang yang membangun imannya di atas kepentingan duniawi yang kasat mata. Ia seperti orang yang berlari di atas pasir pantai; rasanya empuk dan nyaman, tetapi larinya sulit karena ada daya hambatan yang menahan laju langkah kakinya. Iman orang ini mungkin dibangun dari tradisi keluarga, atau karena hubungan antar manusia, seperti diajak majikan, sahabat, atau tokoh masyarakat, yang seharusnya bisa menjadi awal yang baik. Namun apabila ia tidak mengejar kedewasaan rohani dan iman kepercayaan, rohaninya tetap lemah dan tidak tahan uji.
Ada orang yang menjadi percaya karena mencari nama dan kenikmatan materi. Simon si tukang sihir, ia menjadi percaya tetapi tidak mengubah motivasi lamanya yang salah, sehingga menawarkan sejumlah uang untuk membeli kuasa Roh Kudus. Petrus menegurnya, “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang. Tidak ada bagian atau hakmu dalam perkara ini, sebab hatimu tidak lurus di hadapan Allah. Jadi bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini” (Kis 8:20-22).
Ada lagi orang yang menjadi percaya karena mengalami anugerah atau melihat mujizat. Namun dorongan sesaat ini tidak berumur panjang apabila hanya didasarkan pada kepentingan pribadi seperti orang-orang yang mengikuti Yesus karena ingin mendapatkan roti. Tuhan Yesus berkata kepada mereka, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu” (Yoh 6:24-27).
Tuhan mengingatkan kita agar jangan menjadikan kepercayaan dan ibadah sebagai sumber keuntungan. Membangun dasar rumah di atas pasir kelihatannya mudah, tetapi rumah itu tidak dapat bertahan lama dan tidak akan mendatangkan anugerah Allah yang sesungguhnya.
Di lain sisi, batu melambangkan Tuhan Yesus. Ia sangat kokoh dan kuat, “sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis 4:12). Pemazmur menyimpulkan pengalaman hidupnya: “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya” (Mzm 46:1-3). Orang yang membangun dasar rumah di atas batu ini tidak lagi perlu kuatir, dan kasih karunia Tuhan senantiasa menyertainya.