SAUH BAGI JIWA
“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu.” (Mazmur 37:8)
“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu.” (Mazmur 37:8)
Injil Lukas 3:4-6 menceritakan bagaimana Yohanes Pembaptis mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Dikatakan bahwa “setiap lembah akan ditimbun” agar menjadi rata untuk persiapan jalan-Nya. Apakah diri kita pribadi masih memiliki banyak “lubang” yang harus ditimbun dan diisi? Mintalah pertolongan Tuhan untuk mengisi dan menutupi kekurangan pada diri kita.
Jika kita merasa bahwa kasih yang kita lakukan belum cukup, perlu kekuatan kuasa Tuhan untuk menambah kekurangan itu. Kita harus berusaha untuk membuat jalan itu menjadi rata, tidak berlubang. Kemarahan dan kecemburuan merupakan penghalang dalam hidup. Apa yang telah retak, marilah kita perkuat. Segalanya kita perkuat kembali di dalam Tuhan.
Tahukah Anda bahwa amarah adalah perilaku yang dapat membawa kita kepada dosa? Sang Pemazmur memberi peringatan, “Jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan” (Mzm 37:8).
Hal apa sajakah yang seringkali membangkitkan amarah kita? Saat kita merasa bahwa orang fasik tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Hal tersebut dapat memicu amarah, namun ingatlah bahwa amarah akan membawa kita kepada kejahatan. Apakah maksudnya?
Lihat saja contoh kehidupan Daud sebelum ia menjadi raja. Sesungguhnya ia adalah seorang yang tak bersalah tetapi selalu dikejar-kejar oleh raja Saul dan prajuritnya. Raja Saul bahkan berikhtiar untuk membunuh Daud. Jika kita berada di posisi Daud saat itu, bagaimanakah perasaan kita terhadap Saul? Tentunya penuh dengan amarah dan kebencian. Tetapi di saat-saat seperti itulah justru Daud menuliskan mazmurnya, “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu.” Jika “lubang” dalam hati Daud tidak diisi, ditimbun dan diratakan, maka ia akan membenci Saul, bahkan bisa membunuh Saul, seperti yang pernah dirasakan oleh anak buah Daud.
Sebenarnya Daud memiliki kesempatan untuk melukai raja Saul, dan raja Saul-pun tahu akan hal itu. Tetapi raja Saul tetap mengejar Daud bahkan sampai berkali-kali. Jika diri Daud dipenuhi oleh amarah, bisa saja kali berikutnya ia tidak akan membiarkan kesempatan untuk memenggal raja Saul lewat begitu saja. Namun Daud tahu bahwa hal tersebut adalah salah sebab raja Saul adalah orang yang telah diurapi oleh Tuhan. Ia tidak mau main hakim sendiri. Jika ia membunuh Saul, maka ia berdosa.
Amarah dapat terpancing oleh karena “kesalahan” yang diperbuat orang lain terhadap diri kita. Bukan berarti orang lain yang salah, tetapi karena perasaan kita yang disinggung, dilukai, sehingga kita menjadi sakit hati dan bangkitlah amarah. Contoh nyata adalah peristiwa Kain dan Habel. Padahal Habel sama sekali tidak melakukan kesalahan, justru apa yang diperbuat Habel ternyata diindahkan oleh Tuhan. Persembahan Habel yang diindahkan Tuhan membuat hati Kain menjadi panas dan mukanya suram. Bangkitlah amarah Kain.
Tuhan menasehati Kain dan memberikannya kesempatan untuk merenung dan berpikir bahwa amarahnya akan membawa kepada kejahatan. Jika Kain berbuat baik, wajahnya akan kembali berseri. Tetapi Kain sama sekali tidak menghiraukan nasehat Tuhan, membiarkan dosa berkuasa atasnya dan akhirnya ia memutuskan untuk membunuh Habel. Inilah pembunuhan pertama kali. Amarah membawa kita kepada dosa.