SAUH BAGI JIWA
“Ketika orang-orang Daud sampai ke sana, berkatalah mereka kepada Nabal atas nama Daud tepat seperti yang dikatakan kepada mereka, kemudian mereka menanti.” (1 Samuel 25:9)
“Ketika orang-orang Daud sampai ke sana, berkatalah mereka kepada Nabal atas nama Daud tepat seperti yang dikatakan kepada mereka, kemudian mereka menanti.” (1 Samuel 25:9)
Ada kira-kira 600 orang yang bersama-sama dengan Daud saat ia mengutus sepuluh orang kepada Nabal dengan pesan: “Sebab itu biarlah orang-orang ini mendapat belas kasihanmu; bukankah kami ini datang pada hari raya? Berikanlah kepada hamba-hambamu ini dan kepada anakmu Daud apa yang ada padamu.” (1Sam 25:8). Nampaknya, Daud membutuhkan makanan bagi orang-orang yang ada bersama dengannya. Terlebih lagi Daud merasa telah berbuat kebaikan kepada Nabal dengan melindungi para gembalanya selama mereka berada di Karmel (1Sam 25:7). Tentunya Daud menantikan kabar baik dari orang-orang yang diutusnya itu.
Penantian Daud berakhir dengan kekecewaan. Nabal tidak bersedia memberikan yang diharapkan Daud (1Sam 25:10-11). Kekecewaan Daud berujung pada kemarahan, seperti yang dikatakannya, “Sia-sialah aku melindungi segala kepunyaan orang ini di padang gurun, sehingga tidak ada sesuatu pun yang hilang dari segala kepunyaannya; ia membalas kebaikanku dengan kejahatan. Beginilah kiranya Allah menghukum Daud, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika kutinggalkan hidup sampai pagi seorang laki-laki sajapun dari semua yang ada padanya.” (1Sam 25:21-22).
Pada masa Perjanjian Lama, kelihatannya wajar bila umat Allah mengharapkan balasan yang baik dari kebaikan yang telah dilakukannya kepada sesama. Namun, di zaman Perjanjian Baru, firman Tuhan menyatakan, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi.” (Luk 6:35). Nantikanlah upah di sorga, bukan yang di bumi.
Berkaitan dengan Nabal, Alkitab mencatat: “Nama orang itu Nabal dan nama istrinya Abigail. Perempuan itu bijak dan cantik, tetapi laki-laki itu kasar dan jahat kelakuannya.” (1Sam 25:3). Entah berapa lama Abigail telah menikah dengan Nabal, namun hidupnya kemungkinan besar tidak bahagia. Mungkin Abigail berpikir bahwa suatu saat suaminya bisa berubah. Orang bijak berkata bahwa selama seseorang masih hidup, masih mungkin terjadi perubahan. Namun, penantian Abigail sepertinya tidak membuahkan hasil yang diharapkan, yang nampak dari ucapannya: “Nabal, orang yang dursila itu, sebab seperti namanya demikianlah ia: Nabal namanya dan bebal orangnya (1Sam 25:25).
Di akhir peristiwa itu, Abigail beroleh kelegaan. Nabal meninggal sehingga ia tidak lagi mengalami kekasaran dan kejahatan suaminya. Menanti kelepasan seperti Abigail tidaklah mudah. Kematian adalah hal yang tidak dapat diduga. Itu adalah rahasia Allah. Amsal menuliskan: “Mata TUHAN ada di segala tempat, mengawasi orang jahat dan orang baik.” (Ams 15:3). Jelas, mata Tuhan juga ada di Maon, tempat tinggal Nabal.
Jika saat ini kita menderita, surat Paulus kepada jemaat di Korintus memberikan penghiburan yang indah: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1Kor 10:13).