SAUH BAGI JIWA
“Yudas, yang mengkhianati Yesus, tahu juga tempat itu, karena Yesus sering berkumpul di situ dengan murid-murid-Nya”—Yohanes 18:2
“Yudas, yang mengkhianati Yesus, tahu juga tempat itu, karena Yesus sering berkumpul di situ dengan murid-murid-Nya”—Yohanes 18:2
Pada saat berkumpul bersama Tuhan Yesus dan murid-murid di perjamuan malam, Yudas tidak lagi berkumpul. Ia memilih untuk pergi meninggalkan mereka. Padahal Yudas tahu bahwa dalam perjamuan malam tersebut, Tuhan Yesus sedang memberikan pesan-pesan terakhir kepada murid-murid (Luk 22:14-16), tetapi Yudas tetap pergi. Ia sudah memiliki tujuan dan motivasi tersendiri.
Meskipun penulis Injil Yohanes mencatatkan bahwa Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, pikiran dan tindakan yang diperbuat Yudas justru menunjukkan bahwa ia secara aktif menumbuhkan rencana Iblis dan membiarkannya berakar dalam hati (Yoh 13:2).
Dengan demikian, saat Yudas sedang berkumpul bersama-sama Tuhan Yesus dan murid-murid, ia hanya sekedar pengamat, melihat dan menunggu waktu yang tepat untuk mengeksekusi bisikan rencana Iblis. Keinginan untuk bersekutu dan mendengarkan perkataan Tuhan sudah tidak ada lagi. Hati Yudas sudah tidak ada dalam perkumpulan itu. Yudas merasa bahwa ia tidak lagi memiliki tanggung jawab di dalam persekutuan tersebut.
Apa yang telah dilakukan Yudas di atas mengingatkan hubungan dan peran diri kita masing-masing dalam gereja. Meskipun kita adalah anggota tubuh Kristus, apakah kita hanya sekedar pengamat? Merasa sama sekali tidak memiliki tanggung jawab di dalam persekutuan mana pun, sehingga sewaktu-waktu dan kapan saja kita dapat meninggalkan persekutuan tersebut sesuai keinginan hati kita?
Biarpun kita mengikuti ibadah dan persekutuan secara fisik, tetapi hati kita tidak berada di sana, maka suatu hari pun—tanpa disadari—kita akan melakukan yang Yudas lakukan: meninggalkan persekutuan Yesus dan jemaat-Nya tanpa ada beban rasa tanggung jawab terhadap kemajuan gereja-Nya.
Hal di atas serupa dengan sebuah perumpamaan yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus tentang dua anak laki-laki yang diberikan tugas oleh bapanya. Yang sulung mengiyakan tetapi ia tidak pergi melakukannya. Sedangkan yang bungsu, awalnya ia menolak. Namun, akhirnya ia menyesal dan pergi melakukan tugas tersebut. Penulis Injil Matius menutup perumpaan Tuhan Yesus dengan sebuah kesimpulan bahwa sang bungsulah yang sungguh-sungguh melakukan kehendak bapanya, meskipun pada awalnya ia menolak (Mat 21:28-31).
Cukup menarik bahwa dalam perumpamaan tersebut, si sulung tidak pernah ada perasaan menyesal ataupun merasa salah—karena telah mengiyakan bapanya tetapi ia tidak melakukannya. Dengan kata lain, si sulung tidak berniat untuk melakukan tugas yang diberikan bapanya. Hatinya tidak berada di sana dan ia merasa bahwa bukan tanggung jawabnya untuk melakukan hal tersebut. Bukankah masih ada si bungsu? Masih ada tukang-tukang yang dapat melakukan tugas itu? Sebaliknya, Injil Matius mencatatkan bahwa si bungsu menyesal, merasa bersalah dan memutuskan untuk melakukan tugas bapanya—sebab ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari tanggung jawab dalam persekutuan keluarganya.
Seperti halnya si sulung, Yudas Iskariot mengiyakan tetapi ia tidak melakukan—ia awalnya bersama-sama dengan Tuhan Yesus dan murid-murid di perjamuan malam, tetapi pada saat perjamuan berlangsung, ia pergi meninggalkan mereka. Hatinya tidak berada di sana dan ia tidak merasa bertanggung jawab terhadap persekutuan tersebut. Ia hanya sekedar pengamat dalam perjamuan malam dengan motivasi rencananya tersendiri. Kiranya kisah Yudas dan si sulung dapat menjadi peringatan tersendiri akan tanggung jawab kita sebagai bagian dari anggota keluarga Allah.