SAUH BAGI JIWA
“Hana…sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa…”—Lukas 2:36-37
“Hana…sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa…”—Lukas 2:36-37
Setahun sekali, gereja mengadakan acara Kebaktian Penghormatan Orang Tua, dimana para jemaat lansia diundang untuk berkumpul bersama anggota keluarganya dan bersekutu bersama-sama sambil mendengarkan beberapa pengalaman perjalanan iman mereka. Alkitab-pun pernah mencatatkan tentang pengalaman hidup seorang lansia—seorang nabi perempuan bernama Hana dan berumur 84 tahun. Ada beberapa pengajaran yang dapat kita teladani darinya.
Hana memiliki semangat hidup yang tinggi. Penulis Injil Lukas mencatatkan bahwa “sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda…” (Luk 2:37a). Dengan kata lain, Hana hanya dapat melewati masa pernikahan bersama suaminya selama tujuh tahun saja.
Umumnya, pasangan menikah akan mendambakan untuk melewati masa-masa pernikahan sampai pada hari tua mereka, bahkan jikalau memungkinkan sampai pada golden anniversary, peringatan 50 tahun masa pernikahan. Namun, Hana—seorang lansia berumur 84 tahun—melewati masa-masa tuanya seorang diri. Suami tercinta sudah tiada. Apakah ia menjadi putus asa dan terpuruk setelah ditinggal pergi pasangan hidupnya?
Penulis Injil Lukas justru dengan tegas mencatatkan bahwa Hana tidak pernah meninggalkan Bait Allah siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:37b). Masa tuanya tetap ia jalani dengan semangat ibadah dalam Tuhan.
Hana juga tidak rendah diri dengan statusnya sebagai janda. Penulis Injil Lukas menegaskan bahwa “sekarang [Hana] janda…” (Luk 2:37a). Seorang janda dianggap memiliki konotasi yang negatif menurut penilaian lingkungan dan masyarakat pada jaman itu. Menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, seorang janda memiliki konotasi sebagai berikut: kaum yang tertindas (Yeh 22:7), menjadi janda dan tidak bersuami karena murka Tuhan (Kel 22:24), seorang yang miskin—kekurangan makanan dan pakaian dan hidup dalam kesusahan (Ul. 10:18; Yak 1:27), seorang yang terasing (2 Sam 20:3) dan sering terabaikan perkaranya dan tidak mendapatkan keadilan (Yes. 1:17), bahkan dalam kehidupan bergereja, para janda sering terabaikan dalam pembagian kebutuhan fisik mereka (Kis 6:1).
Konotasi-konotasi negatif tersebut tidak serta merta membuat Hana merasa malu dan rendah diri. Sebaliknya, Hana dalam ibadahnya, tetap percaya diri untuk berbicara tentang Yesus kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem (Luk 2:38). Konotasi negatif yang diberikan masyarakat sekitar tentang status sosialnya tidak memupuskan semangat Hana dalam ibadahnya dan dalam kepercayaan dirinya untuk membagikan kebenaran firman Tuhan.
Kadangkala kegagalan atau kesedihan dalam kehidupan dapat membuat iman seseorang terjatuh. Ditambah dengan tanggapan negatif orang-orang sekitar kita terhadap keterpurukan yang kita alami dapat membuat iman kita semakin terperosok ke bawah. Namun, dari kisah Hana, seorang janda tua, yang dengan setia memegang teguh iman pengharapannya pada Yesus; kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah mengecewakan umat-Nya yang setia. Sesungguhnya, Ia sanggup memberikan umat-Nya penghiburan demi penghiburan yang tak terpikirkan dan tak disangka-sangka.
SAUH BAGI JIWA
“Hana…sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa…”—Lukas 2:36-37
“Hana…sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa…”—Lukas 2:36-37
Setahun sekali, gereja mengadakan acara Kebaktian Penghormatan Orang Tua, dimana para jemaat lansia diundang untuk berkumpul bersama anggota keluarganya dan bersekutu bersama-sama sambil mendengarkan beberapa pengalaman perjalanan iman mereka. Alkitab-pun pernah mencatatkan tentang pengalaman hidup seorang lansia—seorang nabi perempuan bernama Hana dan berumur 84 tahun. Ada beberapa pengajaran yang dapat kita teladani darinya.
Hana memiliki semangat hidup yang tinggi. Penulis Injil Lukas mencatatkan bahwa “sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda…” (Luk 2:37a). Dengan kata lain, Hana hanya dapat melewati masa pernikahan bersama suaminya selama tujuh tahun saja.
Umumnya, pasangan menikah akan mendambakan untuk melewati masa-masa pernikahan sampai pada hari tua mereka, bahkan jikalau memungkinkan sampai pada golden anniversary, peringatan 50 tahun masa pernikahan. Namun, Hana—seorang lansia berumur 84 tahun—melewati masa-masa tuanya seorang diri. Suami tercinta sudah tiada. Apakah ia menjadi putus asa dan terpuruk setelah ditinggal pergi pasangan hidupnya?
Penulis Injil Lukas justru dengan tegas mencatatkan bahwa Hana tidak pernah meninggalkan Bait Allah siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa (Luk 2:37b). Masa tuanya tetap ia jalani dengan semangat ibadah dalam Tuhan.
Hana juga tidak rendah diri dengan statusnya sebagai janda. Penulis Injil Lukas menegaskan bahwa “sekarang [Hana] janda…” (Luk 2:37a). Seorang janda dianggap memiliki konotasi yang negatif menurut penilaian lingkungan dan masyarakat pada jaman itu. Menurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, seorang janda memiliki konotasi sebagai berikut: kaum yang tertindas (Yeh 22:7), menjadi janda dan tidak bersuami karena murka Tuhan (Kel 22:24), seorang yang miskin—kekurangan makanan dan pakaian dan hidup dalam kesusahan (Ul. 10:18; Yak 1:27), seorang yang terasing (2 Sam 20:3) dan sering terabaikan perkaranya dan tidak mendapatkan keadilan (Yes. 1:17), bahkan dalam kehidupan bergereja, para janda sering terabaikan dalam pembagian kebutuhan fisik mereka (Kis 6:1).
Konotasi-konotasi negatif tersebut tidak serta merta membuat Hana merasa malu dan rendah diri. Sebaliknya, Hana dalam ibadahnya, tetap percaya diri untuk berbicara tentang Yesus kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem (Luk 2:38). Konotasi negatif yang diberikan masyarakat sekitar tentang status sosialnya tidak memupuskan semangat Hana dalam ibadahnya dan dalam kepercayaan dirinya untuk membagikan kebenaran firman Tuhan.
Kadangkala kegagalan atau kesedihan dalam kehidupan dapat membuat iman seseorang terjatuh. Ditambah dengan tanggapan negatif orang-orang sekitar kita terhadap keterpurukan yang kita alami dapat membuat iman kita semakin terperosok ke bawah. Namun, dari kisah Hana, seorang janda tua, yang dengan setia memegang teguh iman pengharapannya pada Yesus; kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah mengecewakan umat-Nya yang setia. Sesungguhnya, Ia sanggup memberikan umat-Nya penghiburan demi penghiburan yang tak terpikirkan dan tak disangka-sangka.