… Beginilah firman Tuhan: “Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati dan tidak akan sembuh lagi.”


Pikiran apa yang akan terlintas dalam pikiran kita jika kita menerima pesan seperti itu dari Tuhan? Bagi Hizkia, itu sangat menyakitkan karena dia merasa telah gagal dan lalu menangis dengan sangat. Dengan segera, Hizkia memohon kepada Tuhan untuk mengingatkan-Nya, bahwa dia telah hidup dengan setia dihadapan-Nya (2Raj. 20:2-3). Tentunya, Hizkia telah menjadi raja yang baik, yang telah melayani Tuhan dengan setia dan menghidupkan kembali iman rakyatnya (2Raj. 18:1-5).Tuhan memberikan sebuah anungerah yang langka kepada Hizkia dengan memberitahukan waktu kematiannya. Berapa banyak orang yang kita ketahui dalam sejarah yang menerima anugerah seperti ini dari Tuhan? Tetapi sayangnya, Hizkia tidak menghargai anugerah yang Tuhan berikan kepadanya, malahan merasa Tuhan telah mengutuknya. Bukannya menyiapkan diri untuk bertemu dengan Tuhan untuk menerima penghargaan atas kerja kerasnya, Hizkia malah menangis dengan sangat.

Meskipun dia adalah hamba yang beriman, Hizkia menentang kehendak Tuhan mengenai hal ini. Tuhan merasa iba dan menambahkan umurnya 15 tahun (2Raj. 20:4-6). Yang menjadi pertanyaan, mengapa Hizkia tidak mau pergi? Apakah karena dia tidak beriman dan tidak yakin ke mana dia akan berakhir? Apakah ada pekerjaan yang belum diselesaikan? Apakah rakyatnya yang menahannya untuk pergi?

Sayangnya, itu bukan merupakan alasan Hizkia menentang kehendak Tuhan atas kematiannya. Dia menjalani tambahan hidup 15 tahun sangat jauh berbeda dengan apa yang dijalaninya terdahulu. Hizkia lebih memilih untuk memuliakan dirinya sendiri daripada mempersembahkan waktunya untuk Tuhan, memuliakan-Nya dan mengajar orang lain. Ketika utusan dari Babel datang mengunjunginya, Tuhan menguji Hizkia, apakah yang ada di dalam hatinya (2Taw. 32:31), dan dia gagal. Hizkia tidak menghargai kedamaian dan kemakmuran bangsanya sebagai berkat Allah, tetapi dia mengambil kesempatan itu untuk memuliakan dirinya sendiri dengan memperlihatkan seluruh harta kekayaan yang dia miliki, dan itu mendatangkan murka di hadapan Tuhan (2Raj. 20:12-18; 2Taw. 32:25).

Tiba-tiba, alasan mengapa Hizkia enggan untuk meninggal menjadi jelas. Jika dia meninggal, penyesalan terbesarnya bukan karena ada tugas yang belum selesai, melainkan karena egonya sendiri. Dia sudah menghabiskan banyak upaya untuk menghidupkan kembali iman rakyatnya dan menguatkan bangsanya. Karena rahmat Tuhan, dia berhasil menyelesaikan tugas yang sulit itu. Namun ketika Hizkia mengira bahwa dia dapat menikmati hasil jerih payahnya, dia menerima pesan tentang kematiannya! Dia tidak mengerti dan merasa tidak siap. Sepanjang hidupnya Hizkia berjalan di dalam Tuhan, tetapi ia dengan tegas menolak kehendak Allah mengenai masalah kematiannya.

Tidak mengherankan apabila dengan tambahan hidup 15 tahun tersebut, Hizkia hampir-hampir tidak pernah berjalan di jalan-Nya. Yang dia lakukan lebih banyak menimbulkan kemurkaan Tuhan daripada mendapatkan kemurahan-Nya. Hizkia telah memohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, sehingga menerima anugerah tambahan hidup 15 tahun, tetapi sayangnya dia menyia-nyiakan anugerah ini.

Kehidupan Raja Hizkia tentunya menyampaikan pesan yang penting untuk kita. Saat kita akan pergi tidur, pernahkah kita merenungkan dan yakin bahwa kita akan mampu menyambut hari esok? Pernahkah kita memikirkan bahwa setiap harinya dalam hidup ini adalah anugerah yang sangat istimewa dari Tuhan? Jika Tuhan tidak mengijinkannya, tidak ada dari kita yang dapat memegahkan diri, atau berbuat ini dan itu (Yak. 4:13-15). Pesan kepada Hizkia akan kematiannya juga berkaitan dengan kita sekarang. Waktu kita telah ditentukan. Kita bisa saja meninggal kemarin. Kita bisa meninggal kapan pun! Oleh karena itu, kita harus melihat setiap hari yang baru sebagai perpanjangan khusus yang Allah berikan kepada kita. Sekarang bagaimana cara kita menggunakan setiap anugerah Tuhan di hari tambahan yang telah Dia berikan kepada kita? Bagaimana reaksi kita ketika menerima pesan seperti yang di terima Hizkia?

Jika kita tahu bahwa kita akan segera meninggal, mungkin kita akan sadar bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak waktu dengan perkara yang tidak terlalu penting. Menonton film yang menyita waktu, berpergian keliling dunia yang telah direncanakan dengan susah payah, ujian-ujian yang membebani, kekayaan yang dihasilkan dengan jerih payah, dan karir yang kita abdikan untuk membangun hidup kita — semua ini menjadi tidak berarti. Lebih dari itu, pertengkaran kecil dengan pasangan kita, atau perbedaan dengan saudara seiman akan menjadi tidak berarti. Keselamatan yang kita remehkan, kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita tahu tidak akan membawa kita bertemu dengan Tuhan, pelayanan di gereja yang tidak kunjung selesai karena tidak mau meluangkan waktu, orang-orang yang kita cintai yang belum diselamatkan, janji pribadi untuk mengabarkan injil keselamatan kepada teman-teman — pikiran-pikiran ini mungkin akan terus mengiang di dalam pikiran kita. Ternyata ada banyak yang harus kita kerjakan! Dalam penyesalan yang paling dalam, hati kita mungkin akan menangis sekeras Hizkia. Dengan semua ketulusan hati, kita akan memohon perpanjangan umur kepada Tuhan, dan kita akan merenungkan kembali jalan yang kita tempuh, dan mengabdikan waktu kita untuk hal yang berarti.

Tentunya, Tuhan selalu mendengarkan permohonan kita dengan memberikan hari esok. Setiap hari baru adalah perpanjangan hidup yang telah Tuhan berikan seperti yang telah diberikan-Nya kepada Hizkia. Hanya satu perbedaan, yaitu Hizkia diberikan 15 tahun lagi, sedangkan Tuhan mungkin akan memberikan lebih atau kurang kepada kita sekarang. Tetapi berapa tahun yang diberikan tidaklah penting. Yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakan anugerah yang diberikan-Nya. Hizkia menyia-nyiakan tambahan umur 15 tahun dengan memuaskan keangkuhan hidupnya. Bagaimana dengan kehidupan kita?

Penyesalan terbesar seorang seniman tak percaya yang sekarat mungkin adalah maha karyanya yang belum selesai, dan harapan perpanjangan hidupnya adalah untuk menggoreskan goresan terakhir dari kuasnya. Begitu juga, seorang penulis novel yang sekarat mungkin mengharapkan perpanjangan hidup untuk dihabiskan dengan berusaha menyelesaikan bagian terakhir dari novelnya. Selama Tuhan masih memberikan perpanjangan waktu untuk kita, mari kita renungkan apa yang paling berarti. Mari kita bertekun untuk menyelesaikan hal yang Tuhan inginkan untuk kita selesaikan, seperti yang dilakukan oleh Paulus, yang memilih tetap hidup karena itu lebih berguna bagi orang yang percaya (Flp 1:24), meskipun dia telah siap dan ingin pergi tinggal bersama dengan Kristus, karena ia percaya dan yakin bahwa itu jauh lebih baik (Flp 1:23).