“Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain. (1Kor. 10:23-24)

Selama beberapa saat, bayangkanlah suatu negara dan penduduk yang sangat berbeda dengan negara asal Anda. Untuk menjadikan latihan ini efektif dan berguna, pastikan bahwa negara yang Anda pikirkan adalah negara yang bahasanya sama sekali berbeda dengan bahasa Anda.

          Bayangkan penampilan penduduk negara tersebut. Bagaimana warna rambut, kulit, dan mata mereka berbeda dengan Anda? Tradisi serta nilai-nilai budaya seperti apakah yang mereka miliki? Apakah Anda memahami latar belakang tradisi tersebut? Apakah mereka merayakan hari-hari raya yang sama dengan yang Anda kenal selama ini? Apakah nilai-nilai budaya yang diyakini penduduk di negara tersebut serupa dengan yang diajarkan kepada Anda?

          Pertimbangkan jenis makanan yang biasa dimakan di sana. Samakah dengan makanan yang Anda nikmati di tanah air Anda? Kemungkinan besar tidak, bukan? Nah, apabila Anda berada di suatu pasar yang ramai dengan ratusan orang yang saling berbicara dalam bahasa mereka sendiri dan mereka nyaris melupakan kehadiran Anda, bagaimanakah perasaan anda bila Anda tidak dapat memahami apa yang mereka katakan? Kesepian? Terasing? Mungkin sedikit minder?

          Akhirnya, bayangkan bahwa Anda harus menetap di tempat itu selama sisa hidup Anda di dunia ini. Dalam hal ini Anda tidak punya pilihan lain. Negara itu telah ditetapkan sebagai rumah baru bagi Anda. Sudahkah Anda mulai merindukan kampung halaman Anda?

 

Umat Kristen di Tanah Asing

Percaya atau tidak, banyak umat Kristen—dan, yang menyedihkan, para pencari kebenaran Kristus—merasakan kerinduan akan kampung halaman ini setiap kali mereka masuk ke gereja untuk menguduskan hari Sabat dan menyembah Allah.

          Umat-umat Kristen ini datang ke gereja yang bahasa pengantarnya, penampilan fisik orang-orangnya, tradisi, nilai-nilai budayanya, dan bahkan makanan yang dihidangkan, amatlah jauh berbeda dengan yang mereka kenal sejak kecil. Di tempat di mana seharusnya setiap penduduk dianggap setara, mereka lebih merasa seperti warga kelas dua. Mereka tahu bahwa mereka harus berkebaktian di gereja tersebut, akan tetapi, sejujurnya, mereka tidak pernah benar-benar merasa nyaman seperti di rumah sendiri. Mereka hidup seperti orang asing di rumah mereka sendiri.

          Ada yang tetap bertahan di gereja itu karena ketaatan mereka kepada perintah Tuhan, tetapi mereka tidak pernah merasa benar-benar diterima dan menjadi satu dengan saudara-saudari di gereja. Yang lainnya datang sekali atau dua kali tapi dengan segera terhalau karena sangat terkejut oleh besarnya perbedaan budaya. Dan waktu mereka tidak pernah datang lagi, atau kelihatannya enggan mengikuti persekutuan atau kebaktian yang diadakan gereja, kita langsung mengatakan bahwa saudara pendatang ini tidak mau menerima kebenaran atau tidak setia kepada Kristus.

          Tetapi benarkah ketidakhadiran mereka di gereja adalah karena mereka tidak menerima pengajaran gereja? Secara jujur, apakah kita akan mengatakan bahwa mereka tidak datang ke gereja karena mereka tidak ingin mengikut Kristus? Dengan setulus hati, kita harus mengakui bahwa kemungkinan besar kita sudah membiarkan tradisi duniawi kita menjadi penghambat bagi iman seseorang kepada Kristus dan gereja-Nya. Tidakkah kita, pada kenyataannya, telah membuat orang lain sulit merasakan bahwa mereka adalah milik gereja Tuhan?

 

Teladan Paulus

Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus benar-benar kita pertimbangkan, terutama karena kita telah diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus untuk “pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya” (Mat. 28:19).

          Apabila kita memperhatikan pengajaran Rasul Paulus, kita melihat bahwa ia bergumul dengan masalah yang sama ini sejak dulu, ketika ia diberi amanat untuk memberitakan Injil kepada orang Yahudi dan juga orang bukan Yahudi di berbagai negara. Dalam berbagai suratnya kepada jemaat, Paulus menulis tentang menghancurkan penghalang dengan ikatan Kristus. Ia juga menulis tentang bagaimana ia membuat dirinya hampir menyerupai bunglon demi menyelamatkan jiwa-jiwa manusia yang berasal dari berbagai etnis yang berbeda, dan ia juga menulis tentang melihat kebaikan orang lain.

          Dengan mempelajari ayat-ayat Alkitab berikut ini, kita akan menggali bagaimana Rasul Paulus dapat mematahkan rintangan etnis yang sangat membebani umat Kristen Yahudi dan non-Yahudi. Dan, dengan mempelajari hal ini, mungkin kita dapat menghubungkan upaya yang dilakukan oleh Paulus dahulu kepada upaya yang dapat kita usahakan sekarang, sehingga gereja kita dapat menjadi rumah bagi segala bangsa, ras dan jiwa.

 

Bukan Lagi Orang Asing dan Makhluk Asing, Tetapi Kawan Sewarga

Sebagai manusia, kita semua membutuhkan perasaan saling memiliki. Bahkan Rasul Paulus mengatakan bahwa kita semua harus merasa dipersatukan dalam Kristus, dan bahwa seharusnya tidak ada lagi dinding pemisah antara saudara saudari dari berbagai kalangan etnis yang berbeda. Paulus menulis:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tidak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, – bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.

Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu “jauh”, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus… Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang “jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang “dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.

Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” (Ef. 2:11-13, 17-22)

 

Teladan Pengorbanan Paulus

Paulus memahami bahwa di mata Tuhan kita semua diciptakan setara, dan bahwa tidak ada satu pun ras atau budaya yang lebih tinggi dari yang lain. Ia dapat mengasihi semua jiwa, dan dengan kasih dan perhatian yang besar inilah Paulus berjuang melawan prasangka dan pendapat tentang keunggulan etnis. Ia memiliki perpaduan yang sempurna antara mempertahankan kasih yang mendalam terhadap Allah dan kasih yang sejati kepada sesama manusia. Ia ingin agar semua orang tahu tentang Tuhan kita Yesus Kristus yang begitu ajaib dan pemurah, dan ia memberikan hidupnya untuk menolong semua orang agar dapat menemukan dan tetap berada di jalan menuju keselamatan kekal.

          Demi menyelamatkan begitu banyak jiwa, Paulus memahami bahwa untuk menjalankan misinya dibutuhkan pengorbanan yang tidak mengenakkan dan sangat berbahaya. Hanya saja, pengorbanan macam apakah yang akhirnya ia lakukan? Kita semua tahu bagaimana ia dipukuli, disiksa, dipenjarakan, dan dilempari batu. Semua itu adalah peristiwa penting yang luar biasa yang telah tercatat dan hal itu cukup sering terjadi dalam kehidupannya.

          Sungguh menakjubkan bahwa Paulus memilih untuk menanggung beban yang sangat mengerikan dan menyeramkan seperti itu demi memenuhi panggilan Kristus. Meskipun demikian, hal-hal kecil yang Paulus lakukan demi menemukan cara untuk merangkul semua umat Allah juga sama menakjubkannya. Perhatikanlah perikop berikut, dan Anda akan melihat rincian mengharukan yang diberikan Paulus untuk memastikan bahwa semua bangsa mendapatkan kesempatan terbaik untuk mendengar kabar keselamatan Yesus Kristus dan untuk bertekad hidup bagi Dia:

“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.

          Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1Kor. 9:19-27)

 

Selimut Perca-Etnis Tanpa Keliman

Jadi, bagaimana kita dapat menerapkan teladan Paulus ke dalam kehidupan kerohanian kita? Dan apa yang dibutuhkan untuk menjadikan gereja kita rumah bagi segala bangsa dan semua orang?

          Pertama, kita harus memahami bahwa jika kita mau dipersatukan di dalam Kristus, kita harus menjahit latar belakang dan kebudayaan kita menjadi satu tanpa membuat keliman. Kita harus memperhatikan Rasul Paulus – sang penginjil bagi orang Yahudi dan non-Yahudi yang penuh semangat – untuk memberi kita teladan tentang bagaimana kesatuan antar kelompok etnis dalam Kristus ini dapat dicapai.

          Mari kita kembali ke perikop di atas dan melihat apakah kita dapat menerjemahkannya sesuai dengan kondisi saat ini (saya tahu bahwa ini adalah terjemahan yang sangat, sangatlah bebas, tapi tahanlah dulu, sebab mungkin ini akan menuntun kita kepada sesuatu):

Sebagai gereja, kita mungkin didominasi oleh suku tertentu. Sebenarnya kita tidak perlu menyembunyikan etnis atau nilai dan tradisi kita, namun kita harus mendapatkan cara untuk membaur ke dalam kehidupan semua pencari kebenaran dan saudara/i yang berlainan suku dengan kita, agar mereka dapat merasa lebih dekat kepada gereja dan kepada Kristus yang kita sembah bersama.

          Bagi orang Barat, kita menjadi seperti orang Barat; bagi orang Asia lainnya, kita menjadi seperti mereka (mungkin dengan melakukan usaha nyata menghidangkan masakan khas mereka dan berbicara dalam bahasa mereka), demi memudahkan mereka untuk datang ke gereja dan mendengarkan firman Tuhan kita, Yesus Kristus.

          Bagi pewaris-pewaris keselamatan Kristus dari Amerika Latin, kita menjadi seperti teman-teman Hispanik kita itu (mungkin dengan menghidangkan nasi kuning dan kacang hitam, mempelajari beberapa patah kalimat dalam bahasa mereka, dan menghargai kecintaan mereka akan berbagai ragam tarian), demi memenangkan jiwa-jiwa itu untuk Kristus.

          Bagi saudara dan saudari atau teman-teman kita dari keturunan Afrika, kita membuat diri kita menyerupai orang-orang keturunan Afrika itu (memahami dan menghargai sejarah dan tradisi budaya mereka), untuk dapat berhubungan dengan mereka dan menyediakan bagi mereka gereja yang nyaman untuk dikunjungi dan nyaman untuk menyembah Tuhan dan Juruselamat kita yang satu.

          Kita, sebagai Gereja Yesus Sejati, menjadi segalanya bagi semua manusia agar sedapat mungkin memenangkan beberapa jiwa dari antara mereka. Kita melakukan hal ini demi Injil, supaya kita mendapat bagian di dalam-Nya.

          Kita tahu bahwa dalam gelanggang pertandingan semua tim turut berlari, tetapi hanya satu tim saja yang mendapat hadiah. Karena itu kita berlari begitu rupa agar dapat memperoleh hadiah jiwa-jiwa yang diselamatkan bagi Kristus. Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan menjalani latihan yang ketat – sama seperti kita melatih diri sendiri untuk mengorbankan rasa nyaman untuk berbicara dalam bahasa ibu kita dan makan makanan kesukaan kita.

          Para pelari berbuat demikian untuk dapat memperoleh suatu mahkota yang fana; tetapi kita, sebagai umat Kristen, berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu kita tidak berlari seperti orang yang berlari tanpa tujuan; kita bertinju bukan seperti umat Kristen yang sembarangan saja memukul. Tidak, kita memukul tubuh kita – budaya dan tradisi kita – dan menjadikannya hamba, supaya sesudah kita memberitakan Injil kepada orang lain, jangan sampai kita sendiri, sebagai anggota Gereja Yesus Sejati, ditolak.

 

Kasih – Jawaban yang Sederhana

Jadi, terjemahan di atas tidak terlalu menyimpang, bukan? Mungkin tidak, apabila kita memikirkannya secara mendalam. Intinya adalah kita harus belajar untuk mengorbankan kenyamanan dan identitas kita sendiri demi merangkul jiwa-jiwa yang sedang mencari Kristus. Kita tidak dapat duduk tenang dan bersantai hanya dengan mereka yang berasal dari kelompok etnis yang sama dengan kita. Kita tidak lagi dapat membiarkan umat Kristen yang berbeda ras, bangsa, atau budaya, meninggalkan gereja karena merasa sangat berbeda atau terkucil.

          Karena kita telah mengenal firman kebenaran Kristus, kita harus membawa kebenaran tersebut kepada bangsa dan masyarakat lain – inilah yang diamanatkan Tuhan Yesus Kristus kepada kita. Demi menggapai sebanyak mungkin bangsa dan individu, dan untuk membuat pertobatan mereka menjadi semudah mungkin, kita harus sebanyak mungkin menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi iman mereka. Kita harus berupaya untuk membuat tradisi, bahasa, dan budaya kita yang tadinya terpisah-pisah menjadi membaur, dengan semulus dan se-tak-kentara mungkin.

          Yang dibutuhkan untuk mencapai semua itu hanyalah kasih yang sejati dan proaktif. Apabila kita berusaha keras meneladan Juruselamat kita dengan mengikuti tindakan pengorbanan kasih-Nya, kita akan menarik banyak, banyak sekali jiwa dan bangsa kepada hidup kekal.

 

Angel Marie Solgot—Seattle, Washington, USA

Manna 31

Warta Sejati 65