Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan Aku akan membawa mereka; Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel, Efraim adalah anak sulung-Ku.
Yeremia 31:9

Abraham menangisi Sarah saat ia meninggal (Kej. 23:2). Kita tidak tahu berapa lama Abraham meratap, tetapi air mata dan kepedihan dalam hatinya tidak mengaburkan pikirannya untuk melakukan hal yang benar. Ia dapat saja mengambil kesempatan untuk mengambil alih kepemilikan anak-anak Het. Tetapi Abraham malah membayar 400 syikal perak (Kej. 23:16). Abraham menangis, tetapi berjalan dengan benar.

Esau menangis setelah ia kehilangan hak kesulungannya (Kej. 29:11). Saat ia menuntut berkat kesulungannya, ia ditolak (Ibr. 12:17). Karena kehilangan berkatnya, air matanya mengalir turun dalam kebencian kepada Yakub. Ia tidak memeriksa dirinya sendiri, tetapi memusatkan perhatian pada penipuan yang dilakukan Yakub. Akibatnya, Esau hendak membunuh adiknya. Tangisnya tidak membuatnya berjalan dengan benar.

Yakub menangis saat ia bertemu dengan Rahel (Kej. 29:11). Tidak jelas mengapa ia menangis. Mungkin ia teringat akan ibunya yang telah berpisah ketika melihat Rahel. Sendirian, ia membutuhkan teman. Walaupun cinta Yakub kepada Rahel sangat besar, ia tidak membiarkan airmatanya atau kebutuhan manusiawinya menjadi alasan untuk berperilaku tidak pantas. Ia menghormati pernikahan dan tidak menajiskan tempat tidur. Ia menjaga hubungannya dengan Rahel tetap kudus (Kej. 29:20). Yakub menangis, tetapi tahu apa yang sepatutnya dilakukan.

Yakub tua, ditipu oleh anak-anaknya, menangis berhari-hari karena kematian Yusuf (Kej. 37:34-35). Menghadapi keadaan seperti itu, seseorang dapat dengan mudah menyalahkan Allah dan bertanya, “mengapa?”. Walau Yakub tidak memahami mengapa, ia tidak pernah menyalahkan Allah. Walaupun tidak mengerti mengapa Yusuf direnggut darinya, tangisan Yakub tidak menjauhkannya dari Allah.

Yusuf menangis saat ia bertemu kembali dengan saudara-saudaranya (Kej. 42:24, 43:30;, 45:2, 14-15). Mungkin ia menangis karena terngat kembali pada kenangan-kenangan yang telah lampau terkubur, sehingga ia mengalirkan air mata kepedihan. Kepedihan tidak berarti Yusuf dipenuhi dengan kebencian, tetapi kepedihan itu merupakan bayang-bayang masa lalu yang masih ada di benaknya, dan kesengsaraannya masih terasa walaupun telah berlalu bertahun-tahun. Ratapan Yusuf tidak menggerakkannya untuk membalas kejahatan saudara-saudaranya, tetapi ia memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuktikan jati diri mereka, mendengarkan mereka, dan memperlakukan mereka dengan baik, tidak mempedulikan hal-hal jahat yang telah mereka lakukan kepada dirinya.

Yusuf merangkul dan cukup lama menangis dalam pelukan ayahnya (Kej. 46:29). Waktu-waktu bersama ayahnya telah lama hilang dan tidak akan kembali lagi. Ada banyak hari, bulan dan tahun ia membutuhkan ketenteraman dan tuntunan tangan ayahnya, tetapi ia tidak mendapatkannya. Saat ia dapat melepaskan diri dan memperlihatkan kepedihan hatinya, kesedihan Yusuf berubah menjadi air mata sukacita dan kelegaan. Masih ada waktu. Waktu untuk bersama-sama dan berarti. Tangisan Yusuf menjadi waktu-waktu menemani ayahnya yang ia kasihi.

Melihat seseorang menangis dapat menyentuh hati kita, tetapi dalam tangisan kita harus terus berjalan maju. Menangis dapat mengaburkan pandangan kita. Namun saat itu kita juga dapat mencari pertolongan Tuhan Yesus. Saat menyambut tangan-Nya kita mungkin masih akan menangis sembari kita berusaha berjalan maju. Tetapi yakinlah akan kasih Allah Bapa sembari tetap memegangi tangan-Nya.

Renungan:
1. Apakah Anda sedang berusaha meninggalkan dosa-dosa Anda, dan sungguh-sungguh dipimpin dan hidup bagi Dia?
2. Seberapa bersediakah Anda untuk menggapai tangan-Nya agar jiwa Anda dilegakan dengan air kehidupan yang penuh dengan kepastian dan kekuatan?
3. Sudahkah Anda membuka hati Anda kepada Allah sebagai Bapa surgawi yang menegur mereka yang dikasihi-Nya, dan percaya bahwa segala sesuatu Ia lakukan demi kebaikan kita?