Banyak artikel Kristiani yang menyiratkan bahwa senantiasa tersenyum merupakan ciri khas umat Kristen yang ideal. Persoalan apa pun dan seberat apa pun, pasti sanggup dihadapi dengan senyuman oleh umat Kristen saleh menurut artikel-artikel tersebut.

Di satu sisi, terlalu mengumbar perasaan kepada semua orang memang lebih banyak berdampak buruk ketimbang bermanfaat. Apabila kita terlalu sering mengeluhkan kemalangan dan kesedihan hati kita, lama-lama orang akan jemu mendengarnya dan memilih untuk menghindar. Orang tidak lagi akan bersimpati, sebaliknya malah akan memarahi.

Padahal yang namanya manusia, pasti tak akan terluput dari masalah, baik yang ringan, sedang, maupun berat. Bahkan manusia yang sudah terbaring di liang lahat pun mungkin masih punya masalah besar: akan masuk ke mana rohnya nanti, surga, atau neraka?

Permasalahan yang dihadapi manusia, membawa dampak psikologis yang bermacam ragam; ada yang membuat marah, sedih, sakit hati, kecewa, tertekan, tersinggung, dendam, putus asa, dan sebagainya. Bagaimana caranya agar dalam setiap situasi itu, kita bisa senantiasa tersenyum?

Mungkin bagi satu jenis manusia, hal itu tidak terlalu sulit dilakukan. Manusia jenis ini lebih suka mengalihkan pikiran dan perhatiannya kepada hal-hal selain masalah yang dihadapinya, sehingga meskipun di relung terdalam hatinya dan di sudut terjauh otaknya masalah itu masih tetap mengganjal dan siap muncul ke permukaan sewaktu-waktu, ia masih bisa menghargai berkat-berkat kecil yang ia terima, mengenali hal-hal lucu yang ia temui, dan melihat penderitaan-penderitaan lebih berat yang dialami orang lain.

Tetapi ada jenis manusia yang berbeda, yang tidak sanggup mengalihkan pikiran dari permasalahan sebelum mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Tidak penting apakah masalah terpecahkan saat itu juga atau tidak, asalkan sudah menumpahkan isi hati, manusia jenis ini akan merasakan kelegaan yang luar biasa.

Dalam Alkitab kita mengenal Maria dan Marta, yang saat Lazarus saudaranya sakit, langsung menceritakannya kepada Yesus. Ketika Yesus datang empat hari setelah Lazarus meninggal, Marta dan Maria menyambut Yesus dengan berita kematian Lazarus, sambil menangis di hadapan-Nya.

Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata: “Di manakah dia kamu baringkan?” Jawab mereka: “Tuhan, marilah dan lihatlah!” Maka menangislah Yesus. (Mrk. 11:33-35)

Yesus ikut menangis melihat orang banyak menangis, bukan menasihati agar mereka tetap tersenyum entah apa pun yang terjadi, karena Ia sangat mengasihi ketiga bersaudara itu sehingga turut merasakan dukacita mendalam mereka.

Lalu ada pula Daud, yang banyak menuliskan kesesakan, kesulitan, dan kesengsaraannya dalam Kitab Mazmur: “Di waktu petang, pagi, dan tengah hari aku cemas dan menangis” (Mzm. 55:18a).

Dan setiap kali usai berkeluh kesah kepada Tuhan, Daud akan menuliskan mazmur pujian, karena “Ia mendengar suara [Daud]. Ia membebaskan [Daud] dengan aman” (Mzm. 55:18b-19a). Tuhan sama sekali tidak berkeberatan mendengar jerit tangis manusia yang percaya dan berseru kepada-Nya.

Jadi, janganlah ragu untuk berkeluh kesah dan menangis di hadapan Tuhan Yesus Kristus, karena Ia mahatahu dan maha mengerti seluruh isi hati kita bahkan sebelum kita mengatakannya. Ia tak akan pernah bosan mendengar cerita kita, asal kita tidak pernah lupa mengucap syukur atas setiap pertolongan yang diberikan-Nya dan atas setiap berkat, sekecil apa pun, yang dilimpahkan-Nya.