Dunia telah mempengaruhi cara berpikir manusia dalam hal kehidupan dan nilai-nilai sosial. Kita melihat perubahan-perubahan ini saat memperhatikan pengaruhnya pada agama, moral sosial, dan hukum.

Di masa lalu, standar moral agama lebih tinggi daripada standar moral sosial, sehingga melampaui hukum-hukum di suatu daerah. Dengan kata lain, apabila seseorang melanggar hukum, ia telah melanggar standar moral terendah di daerah itu. Tetapi sekarang, hukum telah menjadi standar moral tertinggi, yang berarti mereka yang dianggap “tidak bersalah” menurut hukum, bebas dari rasa bersalah dalam hati nurani mereka, karena ada banyak hal yang secara hukum benar, tetapi secara moral salah. Contoh-contohnya seperti pengesahan aborsi, konsep moral keperawanan, dan komersialisme agama. Ini hanya sebagian kecil contoh yang mencerminkan arah yang sedang dituju oleh masyarakat manusia. Fenomena ini serupa dengan banyak orang yang menanggung kuk ringan yang sama. Di bawah kuk yang sama ini, tidak ada Kebenaran. Lebih lanjut, bagi mereka, keberadaan atau ketidakberadaan Allah tidak memberikan banyak pengaruh. Akibatnya, hari ini orang merasakan hidup itu lebih mudah karena tidak ada rasa bersalah, sehingga tidak ada beban.

Apabila mengejar Kebenaran adalah sesuatu yang membedakan antara orang Kristen dengan orang dunia, maka Babel dalam dunia sekarang ini tidak mungkin “nyaman” atau “berkuk ringan” bagi orang Kristen. Betapa pun indahnya hikmat dunia, atau gemilangnya kemilau harta duniawi, seorang Kristen hanya dapat memperoleh damai dan sukacita dalam Roh Kudus, karena orang Kristen telah ditebus oleh Allah, yaitu, mereka dipisahkan untuk pekerjaan-pekerjaan kudus. Perbedaan antara menjadi rohani dengan duniawi tidak tertumpu pada apakah seseorang liberal atau konservatif. Perbedaan yang sejati ada dalam kesadaran akan diri yang kudus. Begitu keluar dari baptisan air di dalam nama Yesus Kristus, orang Kristen telah dipisahkan sebagai kepunyaan Allah yang kudus. Tetapi kekudusan ini dapat hilang saat ia memasuki masyarakat dalam segala godaan dan kemewahannya.

Alkitab telah memberikan banyak contoh peperangan-peperangan rohani. Sebagian adalah pemenang, sebagian lagi pecundang. Daniel adalah salah satu kisah sukses. Ia memulai perjalanannya sebagai orang buangan, dan menjadi pejabat berpengaruh di bawah Raja Nebukadnezar. Di tengah-tengah kemuliaan dan kemewahan duniawi, Daniel tetap berpegang teguh pada imannya, dan tidak mau menodai dirinya dengan praktik-praktik berhala raja (Dan. 1:8). Ia bahkan berani menolak titah raja dan berdoa kepada Allah tiga kali sehari (Dan. 6:10-13). Daniel menjaga dirinya tetap kudus dalam keadaan-keadaan genting yang mengancam hidupnya, dan lebih lagi, dengan menguasai diri melawan segala ketamakan (Dan. 5:17). Jabatan, kemuliaan, kekuasaan, dan kemewahan dunia tidak mempengaruhi Daniel, karena ia senantiasa berbicara dengan Allah setiap hari dan menerima kuasa rohani dan tuntunan dari atas. Raja-raja Perjanjian Lama seperti Saul, Daud atau Salomo dapat mencapai kejelasan hikmat, kedamaian pikiran, dan iman tak tergoyahkan yang dimiliki Daniel, sehingga ia disebut sebagai orang yang beriman.

Sebaliknya, Simson gagal dalam perjalanan rohaninya bersama Allah. Allah memberkati Simson dengan kekuatan dan kuasa yang besar, tetapi ia menyalahgunakannya untuk kenikmatannya sendiri. Ia melanggar perintah-perintah Allah demi menyukakan dirinya dengan wanita-wanita cantik. Simson mendapatkan banyak kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi ia tidak menggunakannya. Kesembronoannya dalam menggunakan karunia Allah dan keangkuhannya menyebabkan Iblis dapat menjebak dan menjatuhkannya. Akibatnya, Simson kehilangan matanya, menjadi cemoohan orang-orang Filistin, dan kemudian mati bersama musuh-musuhnya. Tragedi seperti ini disebabkan oleh ketidakmampuan Simson untuk mengendalikan keinginan-keinginan dagingnya. Allah telah memberikan karunia kekuatan yang besar, tetapi ia tidak menggunakannya dengan bijak, dan ia juga tidak meminta petunjuk Allah. Sebaliknya, ia menggunakan kekuatannya untuk membunuh ribuan orang, tetapi tidak mengalahkan siapa pun, dirinya sendiri pun tidak, sebab ia tidak pernah memandang penting perlunya menjaga dirinya tetap kudus.

Kisah Simson mengajarkan kita bahwa ketika seseorang dipisahkan untuk pekerjaan kudus, entah tugas itu besar atau tampak sepele, ia harus memohon penyertaan Allah dan setia dan bertanggung jawab hingga tugas itu selesai. Bila tidak, kerja yang selebor akan menghasilkan kegagalan, dan akhirnya menjurus pada kutukan kekal.

Contoh lain adalah Raja Saul yang lebih menghargai jarahan perang daripada perintah Allah, sehingga ia ditolak dan digulingkan oleh Allah (1Sam. 15:23). Peperangan antara bangsa Israel dengan Amori melambangkan peperangan rohani, dan harta jarahan yang ditinggalkan orang Amori melambangkan keuntungan-keuntungan duniawi. Memenangkan perang rohani berarti mendapatkan Kristus, sementara kalah berarti kehancuran tubuh dan roh.

Kesimpulan

Walaupun segala sesuatu tampak damai dari hari ke hari, dunia ini diam-diam sedang bergeser oleh demam pencapaian dan persaingan materi. Secara tidak sadar, kehidupan individu dan sistem nilai sedang dipengaruhi. Tetapi walaupun seluruh dunia ini berjalan mengikuti Babel, mereka yang telah dikuduskan Allah harus tetap teguh dalam iman mereka. Lebih lanjut, mereka harus mempunyai tekad dan kemauan yang kuat untuk tetap kudus, waspada, dan senantiasa berdoa agar si penggoda tidak menyergap saat mereka tidak siaga dan menelan mereka. Walaupun kadang-kadang perangkap Iblis menjadi semakin sulit dihadapi, ingatlah bahwa pertolongan tangan Tuhan hanya sejauh doa. Kiranya ayat berikut ini memberikan kekuatan dalam perjalanan kita sehari-hari menuju kekudusan:

“Dengan kasih setia-Mu Engkau menuntun umat yang telah Kautebus; dengan kekuatan-Mu Engkau membimbingnya ke tempat kediaman-Mu yang kudus. Ngeri dan takut menimpa mereka, karena kebesaran tangan-Mu mereka kaku seperti batu, sampai umat-Mu menyeberang, ya TUHAN, sampai umat yang Kauperoleh menyeberang. Engkau membawa mereka dan Kaucangkokkan mereka di atas gunung milik-Mu sendiri; di tempat yang telah Kaubuat kediaman-Mu, ya TUHAN; di tempat kudus, yang didirikan tangan-Mu, ya TUHAN. TUHAN memerintah kekal selama-lamanya.”

(Kel. 15:13, 16-18).