Setiap orang mempunyai lidah. Selain untuk merasakan makanan, kita menggunakannya untuk berbicara.

Sebagian orang menyamakan lidah dengan pedang tajam yang dapat digunakan untuk kebaikan, tetapi juga kejahatan.

Percakapan sia-sia, gosip, dan isu beredar karena lidah yang tidak dikendalikan. Ketika mereka hadir, persahabatan terkoyak-koyak, hati terluka, dan kepercayaan dan keyakinan digantikan dengan rasa curiga dan salah paham.

Di antara kita, beberapa merasa muak dengan isu dan sebagian lagi sakit hati dengan kritik yang tidak berperasaan dan serangan-serangan verbal di antara kita. Tetapi pernahkah kita menyadari bahwa kita sendiri membiarkan diri kita menggosip tanpa memikirkan perasaan orang lain?

Pernahkah kita merenungkan orang-orang yang telah sakit hati dengan perkataan kita di belakang, ucapan-ucapan sarkastis dan ucapan-ucapan menghakimi?

Berkata-kata jahat di belakang orang lain adalah dosa yang dengan mudah kita perbuat. Ada kenikmatan besar saat kita berkumpul bersama membicarakan orang lain, dan tampaknya topik pembicaraan tidak ada habis-habisnya. Karena itu Yakobus menasihati, “Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka. Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan” (Yak. 3:6-8).

Tidak ada orang yang sempurna, tetapi sebaiknya kita tidak memegang pikiran dan pendapat yang menghakimi orang lain, karena ada banyak segi kebenaran. Karena itu kita harus menyelidiki segala hal dengan teliti, terutama isu. Apabila kita belum memahami keadaan sepenuhnya, kita tidak boleh mengambil kesimpulan yang sembrono tentang orang lain. Apabila kesimpulan kita ternyata salah, ini tidak hanya akan memperlihatkan kemunafikan kita, tetapi juga melukai perasaan orang-orang tidak bersalah.

Kita harus tahu kapankah kita dapat berbicara, dan kapan kita sebaiknya diam. Kita harus berbicara dengan tulus dan hati-hati. Saat kita berbicara, jangalah kita melakukannya dengan menyombongkan kepandaian kita. Apabila kita sembarangan berbicara, dan tanpa dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, kita dapat menjadi duri dalam diri orang lain. Melukai orang dengan cara ini sungguh tidak terpuji.

Ketika Mikhael, penghulu malaikat, berselisih dengan Iblis mengenai jenazah Musa, ia tidak menghakimi Iblis, tetapi hanya berkata, “Kiranya Tuhan menghardik engkau!” (Yud. 9). Ambillah ayat ini sebagai panduan; janganlah kita berbicara dengan hina terhadap orang lain, dan juga tidak mengatakan ucapan-ucapan yang menghakimi kepada orang lain.

“Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!” (Mzm. 141:3). Alkitab memperingatkan, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum” (Mat. 12:36-37).