Suatu sore dalam perjalanan pulang dari kantor, saya mendengarkan sebuah renungan singkat yang isinya cukup menyentil kalbu.

Sang motivator bercerita tentang tiga orang yang bertemu dengan malaikat. Malaikat bertanya kepada orang yang pertama, “Apa yang engkau lakukan selama hidup di dunia?” Orang pertama dengan bangga menjawab, “Aku telah berjuang membela negaraku. Aku telah mengorbankan diriku untuk kemerdekaan dan kejayaan bangsaku.” Namun, sang malaikat berkata, “Engkau bohong!” Lanjutnya, “Engkau melakukan hal tersebut demi untuk disebut sebagai pahlawan. Karena itu, engkau telah mendapatkan upah dari pekerjaanmu itu.”

Orang yang mendapat giliran kedua pun menerima pertanyaan yang sama, “Lalu, apa yang engkau lakukan selama hidupmu?” Tidak mau kalah, ia menjawab, “Aku telah memberikan banyak motivasi dan nasihat kepada banyak orang yang memerlukannya. Kemampuanku itu telah banyak bermanfaat bagi orang lain.” Dengan tatapan tajam, sang malaikat kembali berkata, “Engkau bohong! Apa yang kau lakukan itu adalah supaya engkau disebut orang bijak dan orang pandai. Maka engkau pun telah memperoleh hasil dari perbuatanmu.”

Orang ketiga mendapat pertanyaaan yang sama pula. Dan ia pun dengan tersenyum menjawab, “Aku menyumbangkan hartaku untuk membantu orang-orang miskin dan berkekurangan agar mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan begitu, aku telah banyak melakukan kebaikan selama hidupku.” Untuk ketiga kalinya, malaikat pun berkata, “Engkau bohong! Engkau melakukannya agar orang-orang menyebut engkau sebagai dermawan, bukan karena engkau sungguh-sungguh mau melakukan sesuatu untuk orang lain.”

Sang motivator menutup renungan ini dengan menarik sebuah kesimpulan: pertanyaan penting yang patut kita tujukan kepada diri kita bukanlah pertanyaan apa yang telah kita lakukan, tetapi mengapa kita melakukan hal tersebut. Apakah tujuannya demi untuk kebaikan orang lain ataukah sebetulnya diri kita yang menjadi tujuan utamanya, demi untuk dipuji orang dan sebagainya.

Motivasi demikianlah yang sepantasnya menyertai pelayanan dan perbuatan baik yang kita lakukan sebagai orang Kristen. Seringkali kita merasa telah bekerja keras dan melakukan banyak hal yang kita pikir kita lakukan demi menyenangkan Tuhan dan membantu sesama. Tetapi, ketika Tuhan seolah-olah tidak memberikan upah yang menurut kita setimpal dengan apa yang kita lakukan, maka kita bersungut-sungut. Juga ketika orang-orang yang kita bantu tidak mengucapkan terima kasih atau memuji kebaikan yang telah kita tunjukkan, maka kita mengatai orang-orang itu sebagai orang-orang yang tidak tahu balas budi dan berterima kasih. Jika kita renungkan, apakah betul yang kita lakukan itu demi untuk Tuhan dan orang-orang yang memang perlu kita bantu itu?

Tuhan Yesus selama hidup-Nya di dunia melakukan banyak kebaikan. Lebih utama lagi, Ia telah memberikan anugerah keselamatan-Nya kepada orang-orang berdosa yang belum pernah mengenal Dia. Apakah Ia melakukan semuanya itu untuk menerima pujian dari manusia bahwa Ia adalah seorang yang baik dan mulia? Apakah Ia menerima hormat yang selayaknya Ia terima?

Dari Alkitab kita bisa melihat ‘balasan’ yang diterima sebagai upah dari segala kebaikan yang telah dilakukan-Nya itu. Ia justru menerima cemooh, hinaan dan penolakan yang begitu hebat (Yes. 53:3; Luk. 18:32; Ibr. 12:2), termasuk dari orang-orang sekampungnya. Pada puncaknya, Ia menerima siksaan yang begitu berat di atas kayu salib.

Kita tidak layak menerima pujian dari apapun dari segala sesuatu yang kita katakan kita lakukan demi untuk Tuhan maupun sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh malaikat kepada ketiga orang di atas, mereka telah menerima upah mereka di dunia. Tetapi, jika kita mengejar upah di surga, maka apa yang dilakukan oleh tangan kanan kita tidak perlu diketahui oleh tangan kiri (Mat. 6:3), karena Allah kita di surga yang tersembunyi, namun Maha Mengetahui, akan membalasnya kepada kita. Itulah upah yang seharusnya kita kejar. Jika kita menginginkan pujian dan hormat dari manusia, maka kita sesungguhnya telah mengurangi upah kekal yang seharusnya kita terima. Bahkan, jika kita menerima cemooh, penghinaan, kecaman dan bahkan fitnah padahal kita sesungguhnya melakukan apa yang benar dan baik, maka Allah yang Maha Adil akan memberikan upah yang lebih besar lagi.

Maka tanyakanlah kepada hati kita: Mengapa kita melakukannya?