Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

 

Jawab Yesus: “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.”

 

Kata orang itu kepada-Nya: “Perintah yang mana?” Kata Yesus: “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

 

Kata orang muda itu kepada-Nya: “Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?”

 

Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”

 

Orang muda yang kaya ini mengutarakan pertanyaan penting yang mungkin pernah ditanyakan setiap orang, terlepas dari agama dan norma. Apabila ada kehidupan setleah kematian, sebuah surga, kehidupan yang kekal, lalu bagaimanakah cara untuk memastikan kita mendapatkannya?

 

Lebih sering daripada tidak, saat menceritakan ayat-ayat ini, kita melewatkan jawaban pertama Yesus dan memusatkan perhatian pada bagian terakhir saja: “jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Tetapi ada patutnya kita bertanya-tanya, mengapa Yesus pertama-tama menjawab dengan “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. (Yaitu Allah – Alkitab bahasa Inggris edisi NKJV)”. Tampaknya jawaban ini tidak ada hubungannya dengan percakapan itu. Tetapi apabila kita mempelajarinya lebih lanjut, kita akan menyadari bahwa jawaban Yesus yang pertama sangat berkaitan dengan permasalahan yang sedang dihadapi si orang muda yang kaya, dan karena itu sangat berhubungan dengan kita yang bertanya-tanya apakah yang diperlukan agar kita dapat pergi ke surga.

 

Apabila Anda bertanya kepada orang-orang, kemungkinan besar ia mempunyai keyakinan dalam nilai perbuatan baik. Dan banyak orang merasa yakin mereka adalah orang yang baik. Orang-orang atheis dapat berkata bahwa agama sebenarnya sekedar bersifat legal dan dogmatik, dan selama Anda adalah orang yang baik, itu sudah cukup baik. Jadilah orang yang sopan, menunjukkan kebaikan, murah hati, toleransi, berpengertian, mengasihi, dan sebagainya. Mereka yang tidak percaya kepada Allah, tetapi percaya dengan adanya kekuatan-kekuatan supranatural, kuasa spiritual, karma, atau nasib, juga akan mengucapkan hal yang sama. Selama kita menjadi orang yang baik dan berlaku baik kepada orang lain, kita akan baik-baik saja, bukan?

 

Tetapi masalahnya ada pada definisi “baik”. Apakah yang dimaksud dengan “baik”? Inilah yang dijelaskan Yesus segera setelah si orang muda yang kaya bertanya. “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik.” Pengertian, konsep, dan definisi “baik” sangat berkaitan dengan Allah. Allah adalah sumber segala hal yang baik (Yak. 1:17). Sejak awal Yesus sudah menetapkan dalam percakapan itu bahwa apabila kita hendak membicarakan tentang apa yang baik, kita tidak bisa tidak harus berbicara tentang Allah, karena hanya Satu yang baik, yaitu Allah.

 

Sayangnya, pandangan sebagian besar orang akan definisi “baik” tidak sempurna. Banyak orang berpikir bahwa kebaikan tidak berhubungan dengan Allah sama sekali, tetapi dengan mereka dan orang lain (yaitu berbuat baik kepada satu sama lain). Selain menjadi orang yang baik, semua orang juga ingin menikmati hidup dan dan hidup bahagia: “Apabila saya dapat menjadi orang yang baik dan masih mempunyai kebebasan untuk menikmati hidup dan berbahagia – menikmati hidup, bekerja keras, bermain dengan keras juga, menjadi makmur, dan sesekali memuaskan diri dalam kenikmatan, maka itu adalah hidup yang sempurna.”

 

Di situlah masalah yang dihadapi si orang muda yang kaya, dan banyak di antara kita hari ini. Pada akhirnya, kita ingin hidup untuk diri kita sendiri, menjadi tuan atas diri kita sendiri, dan kita meyakinkan diri kita bahwa kita masih dapat menjadi orang yang sangat baik. Saat Yesus menyebutkan kesepuluh perintah Allah, apakah yang Ia tidak sebutkan? “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun”, “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya”, “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan”, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat”. Semuanya alah perintah-perintah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah. Dengan tidak menyebutkan perintah-perintah ini, Yesus sebenarnya membiarkan orang muda itu menyadari sendiri apakah yang kurang pada dirinya, dan apa yang kurang pada orang-orang di dunia, bahkan yang “paling baik” dan “paling mulia” sekalipun. Kita kekurangan kerelaan untuk taat dan tunduk pada Allah yang maha kuasa; kerelaan untuk turut pada pimpinan-Nya dalam hidup kita.

 

Jadi untuk kita semua yang mengira kita adalah orang-orang baik yang berusaha mencari kebahagiaan dan pembenaran di luar dari Allah, janganlah kita menipu diri sendiri. Kita semua yakin dalam nilai-nilai perbuatan baik. Tetapi apa yang baik? Hanya Allah yang baik.