“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”
Yakobus 1:2-4

Rasa-rasanya cobaan kehidupan tidak pernah menyenangkan, bila bukan terasa tak tertanggungkan. Saat kita ada di titik terendah dalam kehidupan, bagaimana mungkin kita dapat melihatnya sebagai kebahagiaan? Saat kita menghadapi cobaan-cobaan kehidupan, dengan mudah kita terbelenggu dengan keadaan di sekeliling kita. Beban keuangan, Tekanan perasaan dan ketidaknyamanan fisik dengan mudah dapat meliputi kita. Apakah nasihat Penatua Yakobus ini merupakan hal yang mustahil?

Tantangan ini melibatkan sebuah perubahan paradigma dalam diri kita. Kita harus mengubah sudut pandang kita dalam menghadapi masa-masa sulit. Ketimbang memakukan diri pada masalahnya, kita harus bertanya pada diri sendiri, “Apakah yang diinginkan Allah untuk saya pelajari dari pengalaman ini? Apakah kehendak Allah atas diri saya?” Anggaplah cobaan itu sebagai pengalaman belajar. Cobaan-cobaan kehidupan memang sebuah proses. Itu semua harus kita lalui, dan setelah melaluinya, apakah kita dapat memuliakan Allah?

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” Yer. 29:11).

Allah itu setia, tetapi kita juga harus percaya pada tuntunan-Nya. Apabila kita percaya, tidak hanya kita dapat melalui pencobaan, kita juga akan menjadi Kristen yang lebih baik dan mempunyai iman yang dewasa. Sekali kita sungguh-sungguh menyerahkan beban kita kepada Allah, kita tidak lagi perlu menguatirkan hasilnya. Allah tidak menjanjikan akhir yang indah; tetapi kita percaya bahwa Allah akan memberikan kekuatan dan hikmat dalam pengujian dan cobaan kita. Dengan iman ini, kita bersyukur dan bersukacita, karena kita tahu bahwa kita tidak berkekurangan. Dan lebih bagi, kita mendapatkan damai sejahtera di sepanjang pencobaan kita (Yoh. 16:33).

Sembari kita menjalani cobaan, kita akan memegang Yesus Kristus sebagai pengharapan dan jangkar kita. Saat kita teringat kembali bahwa Yesus ada dalam kapal bersama kita, dan Ia tentu akan menenangkan badai itu bagi kita (Mat. 8:26), kita mendapatkan kepastian bahwa kita dapat menganggapnya sebagai suatu kebahagiaan. Amin.

Renungan:
1. Melihat kembali ke masa lalu, kapankah terakhir Anda menghadap pencobaan? Dengan sikap apakah Anda menghadapinya? Apakah pelajaran kehidupan yang Anda dapatkan dari Allah? Apakah Anda tumbuh secara rohani setelah pencobaan itu?
2. Bagaimana Anda dapat mempersiapkan rohani Anda untuk cobaan berikutnya?